| SEJARAH PANJAT TEBING
Panjat tebing sudah dikenal sejak sebelum zaman PD I, terutama oleh
kalangan militer Namun dalam perkembangannya kegiatan ini menjadi
digemari masyarakat umum.
• SEJARAH PANJAT TEBING DUNIA
- 1910 Kegiatan panjat tebing mulai dikenal pertama kali di kawasan
Eropa, tepatnya di pegunungan Alpen, sebelum PD I di Austria., Teknik
pemanjatan tebing dengan menggunakan tali baru dikenal pada tahun 1920.
Tahun 1930 adalah tahun keemasan pemanjatan di kawasan Alpen. Mulai
daritebing kecil, menengah hingga puncak -puncak tertinggi. Klimaksnya
pada saat PD II meletus. PD menyebabkan frekuensi pemanjatan menurun,
akan tetapi setelah PD berakhir membawa pengaruh pesat pada penciptaan
dan pengadaan peralatan panjat tebing yang semakin mudah didapatkan.
- 1970 Panjat Tebing , ketika para pemanjat Amerika mengembangkan teknik-teknik baru di kawasan Yosemite.
Teknik-teknik ini sampai saat ini masih digunakan dalam pemanjatan
tebing-tebing besar. Rata – rata yang mendomisili pengembangan dunia
olahraga ini adalah pemanjat Amerika dan Inggris yang kemudian
menggunakan sistem dan teknik yang sama, yang sebelumnya terkotak kotak
menurut negaranya masing masing. Selain itu juga turut berperan dalam
pengembangan kegiatan ini adalah negara Perancis yang menawarkan teknik
pemanjatan yang mengarah pada olahraga murni.
- 1980 perkembangan panjat tebing semakin meluas mulai dari Eropa,
Amerika hingga Asia. Sehingga membuatnya terlepas dari induknya (mendaki
gunung) dan membentuk wujudnya sendiri yaitu olah raga panjat tebing.
• SEJARAH PANJAT TEBING INDONESIA
- 1960 Di Indonesia panjat tebing dikenal sejak tahun 60`an dimana
berdiri beberapa perkumpulan/kelompok Pecinta Alam Universitas
Indonesia dan Wanadri yang mempunyai akar kegiatan mendaki gunung.
- 1975 kegiatan panjat tebing secara utuh dan tersendiri .
Waktu itu beberapa orang yang sekarang dikenal sebagai tonggak
kebangkitan Panjat Tebing Indonesia antara lain Harry Suliztiarto, Agus
Resmonohadi, Heri Hermanu dan Deddy Hikmat mulai latihan di tebing
Citatah, Jawa Barat.
- 1988 kantor Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga bekerjasama
dengan Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) mengundang 3pemanjat profesional
Perancis yaitu; Patrick Bernhault, Jean Baptise Tribout dan Corrine
Lebrune serta seorang instruktur Teknis Panjat Tebing Jean Harau yang
kemudian memunculkan inspirasi untuk mendirikan FGTI
- 1989FEDERASI PANJAT TEBING GUNUNGINDONESIA (FPTGI) dan melalui
ikrar yang dikeluarkan oleh sekitar40`an orang dari perkumpulan PA yang
ada di Jakarta, Bandung, Padang, Medan, Semarang, Yogyakarta, Surabaya
dan Ujung Pandang di Tugu Monas tanggal 21 April 1988.
- 1992FPTGI kemudian berubah nama hanya menjadi Federasi Panjat
Tebing Indonesia (FPTI) dan FPTI diakui menjadi anggota Union
Internationale des Assosiations d`Alpinisme (UIAA) yang mewadahi
organisasi panjat tebing dan gunung internasional. UIIA merupakan
organisasi olahraga dunia yangbertaggung jawab pada semua kegiatan
olahraga dunia termasuk Olimpiade.
- 1994 secara resmi FPTI diakui sebagai induk olahraga panjat tebing oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia)
- 1996 Sejak itu Olahraga Panjat Tebing diikutkan dalam PON
Dasar-dasar panjat tebing
Namanya juga hobi panjat tebing, tentu saja tebing merupakan prasarana
dalam kegiatan panjat tebing. Pengetahuan dasar tentang tebing yang
harus diketahui antara lain: Bentuk tebing, bagian tebing yang dilihat
secara keseluruhan mulai dasar sampai puncak. Bagian-bagiannya antara
lain blank (bentuk tebing yang mempunyai sudut 90derajat atau biasa
disebut vertikal), overhang (bentuk tebing yang mempunyai sudut
kemiringan antara 10-80 derajat), roof (bentuk tebing
yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat,
terletak menggantung), teras (bentuk tebing yang mempunyai sudut 0
atau 180 derajat, terletak menjorok ke dalam tebing), dan top (bagian
tebing paling atas yang merupakan tujuan akhir suatu pemanjatan).
Lalu ada soal permukaan tebing yang merupakan bagian dari tebing yang
nantinya akan digunakan untuk berpegang dan berpijak dalam suatu
pemanjatan. Bagian ini di kategorikan menjadi tiga bagian: face
(permukaan tebing yang mempunyai tonjolan), slap/friction (permukaan
tebing yang tidak mempunyai tonjolan atau celah, rata, dan mulus tidak
ada cacat batuan), dan fissure (permukaan tebing yang tidak mempunyai
celah/crack).
Dengan mengenali pengenalan dasar atas medan yang hendak ditempuh, para
pemanjat akan langsung bisa mempersiapkan teknik penaklukannya dan
mengurangi tingkat kesulitannya.
Untuk memudahkan estimasi tingkat kesulitan tersebut, biasanya
digunakan sistem desimal yang dimulai dari angka lima (mengacu pada
standar tingkat kesulitan yang dibuat oleh Amerika).
Tingkat kesulitan 5,7-5,8 adalah tingkat kesulitan pemanjatan yang amat
mudah. Lintasan pemanjatan untuk pegangan dan pijakan sangat banyak,
besar, dan mudah didapat. Sudut kemiringan tebing belum mencapai 90
derajat.
Tingkat kesulitan 5,9. Tingkat kesulitan pemanjatan yang mulai agak
sulit karena jarak antara pegangan dan pijakan mulai berjauhan tetapi
masih banyak dan besar.
Tingkat kesulitan 5,10. Pada tingkat ini pemanjatan mulai sulit karena
komposisi pegangan dan pijakan sudah bervariasi besar dan kecil. Jarak
antar celah dan tonjolan mulai berjauhan. Terdapat dua tumpuan tangan
dan satu tumpuan kaki, faktor keseimbangan mulai dibutuhkan.
Tingkat kesulitan 5,11. Tingkat kesulitan ini lebih sulit lagi karena
letak antara pegangan yang satu dengan pegangan yang lainnya berjauhan
dan kecil-kecil yang hanya bisa dipegang oleh beberapa jari saja,
kedua tungkai melakukan gerakan melebar agar kaki dapat bertumpu pada
tumpuan berikutnya. Keseimbangan tubuh sangat berpengaruh, bentuk
tebing yang dilalui pada lintasan ini terdapat variasi antara tebing
gantung dan atap.
Tingkat kesulitan 5,13-5,14. Jalur lintasan ini bervariasi antara
tebing gantung dan atap dengan satu tumpuan kaki dan satu tumpuan
tangan. Pemanjat mulai melakukan gerakan gesek (friction) dan bertumpu
pada ujung jari (edginh) bahkan harus mengaitkan tumit pada pijakan
(hooking).
Selain kriteria kesulitan ini, Negara lain juga membuat tingkat
kesulitan sesuai dengan penilaian masing-masing, antara lain Jerman,
Perancis, UIAA (Union Internationale des Association Alpines).
Tehnik Dasar yang Umum
1. Pertahankan 3 titik kontak. 2 tangan dan 2 kaki total semuanya jadi 4
kontak. Waktu kamu manjat usahakan 1 kontak mencari pegangan atau
pijakan dan 3 lainnya tetap menempel pada tebing. Dengan cara ini kamu
enggak bakal cepet cape.
2. Usahakan tangan selalu lurus ( jangan membengkokan siku). Waktu
meraih pegangan tangan setinggi apapun segera jatuhkan badan kamu
dengan menekuk kedua lutut dan meluruskan tangan. Kalo kamu terus2an
membengkokan siku waktu manjat dan mencengkram dengan keras dijamin
tangan kamu cepet lemes. Dengan tangan lurus sebagian beban tubuh
ditunjang oleh otot bahu dan dada jadinya lebih enteng.
3. Manjat dengan kaki dan bukan tangan. Karena kaki lebih kuat maka
sering2lah mendorong vertikal dengan kaki kamu bukannya menarik
vertikal dengan tangan kamu.
Dalam penguasaan tehnik kita juga harus familiar dengan medan
tempur. Jenis bebatuan tebing akan sangat menentukan tehnik apa yang
kita perlukan agar bisa manjat kepuncak dengan mulus. Tebing dan
bebatuanlah yang bakal mendikte kita dan memaksa kita untuk begini dan
begitu. Proses inilah yang membuat pemanjat tebing dan seorang pelaku
boulder (pemanjat batuan besar) bersahabat dengan alam. Makanya selain
kita harus tau nama dari tehnik itu sendiri kita juga harus mengenal
nama dari bentuk pegangan/ pijakan yang bakalan dipake.
TEKNIK PANJAT TEBING
A. STRUKTUR GUNUNG
Dengan mengetahui struktur suatu gunung, akan lebih mudah bagi kita
untuk merencanakan sebuah rute yang akan didaki. Merencanakan tempat
untuk berhenti istirahat, dan sebagainya. Faktor lain yang memiliki
kaitan erat adalah musim dan cuaca terutama arah angin. Akan lebih sulit
apabila kita mendaki dinding selatan pada saat angin bertiup kencang
dari arah selatan daripada kalau angin bertiup dari utara.
Sebelum seseorang memanjat tebing, seperti juga pada Hill Walking,
maka diperlukan pengetahuan rute yang akan diambil. Di negara-negara
maju disediakan buku petunjuk rute suatu tebing dengan tingkat
kesulitannya. Pendaki dapat memilih rute yang akan didaki dengan
memperhitungkan kemampuannya.
B. PERALATAN PANJAT TEBING
1. Tali
Fungsi utama tali adalah untuk melindungi pendaki dari kemungkinan jatuh
sampai menyentuh tanah (freefall). Berbagai jenis tali yang digunakan
dalam Panjat Tebing adalah :
a. Tali serat alam
Jenis tali ini sudah jarang digunakan. Kekuatan tali ini sangat rendah
dan mudah terburai. Tidak memiliki kelenturan, sehingga membahayakan
pendaki.
b. Hawser Laid
Tali sintetis, plastik, yang dijalin seperti tali serat alam. Masih
sering digunakan terutama untuk berlatih turun tebing. Tali ini relatif
lebih kuat dibanding tali serat alam dan tidak berserabut. Kelemahannya
adalah kurang tahan terhadap zat kimia, sulit dibuat simpul dan
mempunyai kelenturan rendah serta berat.
c. Core dan Sheat Rope (Kernmantel Rope)
Tali yang paling banyak digunakan saat ini, terdiri dari lapisan luar
dan dalam. Yang terkenal adalah buatan Edelrid, Beal dan Mammut. Ukuran
tali yang umum dipakai bergaris tengah 11 mm, panjang 45 m. Untuk
pendakian yang mudah, snow climbing, atau untuk menaikkan barang dipakai
yang berdiameter 9 mm atau 7 mm. Tali ini memiliki sifat-sifat :
- Tidak tahan terhadap gesekan dengan tebing, terutama tebing laut
(cliff). Bila dipakai untuk menurunkan barang, sebaiknya bagian tebing
yang bergesekan dengan tali diberi alas (pading). Tabu untuk menginjak
tali jenis ini.
- Peka (tidak tahan) dengan zat kimia.
- Tidak tahan terhadap panas. Bila tali telah dicuci sebaiknya dijemur di tempat teduh.
- Memiliki kelenturan yang baik bila mendapat beban kejut (karena pendaki jatuh, misalnya)
Pada umumnya tali-tali tersebut akan berkurang kekuatannya bila
dibuat simpul. Sebagai contoh, simpul delapan (figure of eight) akan
mengurangi kekuatan tali sampai 10%.
Karena sifat tali yang demikian, maka dibutuhkan perawatan dan
perlakuan yang baik dan benar. Cara menggulung tali juga perlu
diperhatikan agar tidak kusut, sehingga tidak mudah rusak dan mudah
dibuka bila akan digunakan. Ada beberapa cara menggulung tali, antara
lain :
- Mountaineers coil
- Skein coil
- Royal robin style
gambar2. berbagai teknik menggulung tali
2. Webbing (tali pita) dan Sling
Seringkali kita menyebut webbing sebagai sling atau sebaliknya. Webbing
memiliki bentuk seperti pita, dan ada dua macam. Pertama lebar 25 mm
dan berbentuk tubular, sering digunakan untuk :
- Harness (tali tubuh), swami belt, chest harness, atau
- Alat bantu peralatan lain, sebagai runners (titik pengaman), tangga (etrier) atau untuk membawa peralatan.
Webbing yang lain memiliki lebar 50 mm dan berbentuk pipih, yang
biasa digunakan untuk macam-macam body slings. Webbing yang sering
disebut juga sebagai flat rope adalah produk sampingan perang dunia II.
gambar 3. carabiner screw gate
3. Carabiners (snapring, snapling, cincin kait)
Secara prinsip, carabiner digunakan untuk menghubungkan tali dengan
runners (titik pengaman), sehingga carabiner dibuat kuat untuk menahan
bobot pendaki yang terjatuh.
Persyaratan yang harus dibuat oleh assosiasi pembuat peralatan panjat
tebing mengharuskan carabiner dapat menahan bobot 1200 kilogram force
(kp) atau sekitar 2700 pounds. Sedangkan beban maksimum yang
diperbolehkan adalah sekitar 5000 pounds.
Carabiner yang terbuat dari campuran alumunium (Alloy) ini sangat
ringan dan cukup kuat, terutama yang bebentuk D. Carabiner yang terbuat
dari baja mempunyai kekuatan yang sangat tinggi sampai 10.000 pounds
tetapi relatif berat bila dibawa dalam jumlah banyak untuk suatu
pendakian.
Berikut ini adalah tabel daftar carabiners, pabrik pembuat dan
kekuatan menahan bobot. Bagian yang paling lemah dari carabiner adalah
pin, carabiner bentuk D relatif lebih aman dibanding bentuk oval, karena
terdapat cekungan yang memberi ruang bagi pin saat carabiner mendapat
beban. Kelebihan dari carabiner bentuk oval adalah relatif mudah
dikaitkan pada piton.
tabel 2. kekuatan carabiner
Ada carabiner yang dilengkapi tutup pada pintunya (screw gate). Hal
ini dimaksudkan agar carabiner tidak tebuka gatenya karena sesuatu hal.
Tentunya carabiner ini lebih berat dibandingkan yang tanpa tutup (non
screw gate).
4. Piton (peg, paku tebing)
Terbuat dari bahan metal dalam berbagai bentuk. Berfungsi sebagai
pengaman, piton ini ditancapkan pada rekahan tebing. Sebagai kelengkapan
untuk memasang atau melepas piton digunakan hammer.
gambar 4. Piton
Pada umumnya piton dapat digolongkan dalam 4 jenis, yaitu Bongs,
Bugaboos, Knife-blades dan Angle. Piton jenis angle, knife-blades, dan
bongs biasanya digunakan untuk rekahan horizontal maupun vertikal.
Sedangkan yang bugaboos biasanya dibuat khusus untuk horizontal atau
vertikal saja.
Cara pemasangan piton sangat sederhana. Setelah memeriksa rekahan
yang akan dipasang piton, kita memilih piton yang cocok dengan rekahan,
lalu ditancapkan dan pukul dengan hammer. Salah besar kalau kita
memilih piton dulu baru memilih rekahan pada tebing. Untuk mengetahui
rapuh tidaknya rekahan yang akan kita pasang piton, adalah dengan
memukulkan hammer pada tebing sekitar rekahan. Suara yang nyaring
menunjukkan rekahan tersebut tidak rapuh.
Adakalanya rekahan yang kita hadapi membutuhkan cara pemasangan yang
berbeda dan atau perlu dimodifikasi dengan alat lain, sehingga perlu
beberapa cara khusus dalam pemasangannya.
Cara melepas piton adalah dengan menggunakan hammer yang kita
pukulkan pada mata piton searah dengan rekahan sampai pada akhirnya
piton dapat ditarik.
gambar 5. Berbagai jenis piton dan hammer
gambar 6.Memasang Piton
5. Chock
Disamping piton, chock juga berfungsi sebagai alat pengaman (runners).
Dibuat dalam beberapa jenis dan ukuran, dapat dibagi menjadi : sling
chock, wired chock, dan rope chock. Diantaranya berbentuk hexentric dan
foxhead.
gambar 7. Chock dan pemasangannya
Chock dibuat dari alumunium alloy sehingga sangat ringan. Cara
memasang chock adalah dengan menyangkutkan pada rekahan. Sangat disukai
pemanjat yang berpengalaman, karena mudah menempatkannya pada rekahan
dan tidak memerlukan tenaga serta waktu banyak seperti halnya memasang
piton.
6. Ascendeur
Ascendeur digunakan sebagai alat bantu naik, merupakan perkembangan dari
prusik, mudah mendorongnya ke atas tapi dapat menahan beban. Dalam
menggunakan ascendeur sebaiknya menggunakan sling terlebih dahulu
sebelum disangkutkan pada carabiner. Ascendeur terbagi menjadi 2 jenis
yaitu :
a. Jumar
Merupakan alat bantu naik pertama, terbuat dari kerangka alumunium dan
baja. Alat ini dapat dipakai untuk tali berdiameter 7 – 11 mm dan
berkekuatan 1100 pounds. Jumar sendiri dapat dibagi menjadi 3 macam :
- Standard jumar
- Jumar
- Jumar CMI 5000 (ColoradoMountains Industries). Jenis ini mempunyai
kekuatan sekitar 5000 pounds dan carabiner dapat langsung disangkutkan
pada kerangkanya.
b. Clog
Alat naik mekanis yang lain, mempunyai prinsip kerja yang sama seperti jumar. Alat ini banyak digunakan di Inggris.
7. Descendeur
Alat ini digunakan turun tebing (abseiling, rapeling). Pada prinsipnya
untuk menjaga agar pendaki tidak meluncur bebas. Keuntungan lainnya
adalah tubuh tidak tergesek tali, sehingga tidak terasa panas.
gambar 8. jenis descendeur
Beberapa jenis descendeur :
a. Figure of eight
b. Brake bar
c. Bobbin (petzl descendeur)
- single rope
- double rope
d. Modifikasi carabiner . Carabiner yang kita susun sedemikian rupa sehingga berfungsi semacam brake bar.
8. Etrier (tangga)
Bila rute yang akan dilalui ternyata sulit, karena tipisnya pijakan dan
pegangan, maka etrier ini sangat membantu untuk menambah ketinggian.
Pada Atrificial Climbing, etrier menjadi sangat vital, sehingga tanpa
alat ini seorang pendaki akan sulit sekali untuk menambah ketinggian.
gambar 9. etrier
9. Harness
Harness sangat menolong untuk menahan tubuh, bila pendaki terjatuh, Juga
akan mengurangi rasa sakit dibandingkan bila kita menggunakan tali
langsung ke tubuh dengan simpul bowline on a coil.
Harness yang baik tidak akan mengganggu gerak tubuh dari pendaki.
Akan tetapi sangat terasa gunanya bila pendaki dalam posisi istirahat.
Jenis – jenis harness :
a. Full body harness
Harness ini melilit di seluruh tubuh, relatif aman dan biasanya
dilengkapi dengan sangkutan alat disekeliling pinggang. Sering dipakai
di medan salju/es.
b. Seat harness
Harness ini lebih sering dipakai, mungkin karena tidak begitu mengganggu
pendaki dalam bergerak. Seat harness dapat dibuat dari webbing (swami
belt) dan diapersling atau dengan menggunakan figure of eight sling.
10. Helm
Bagian tubuh yang paling lemah adalah kepala, sehingga perlu mengenakan
helm untuk melindungi dari benturan tebing saat pendaki terjatuh atau
bila ada batu yang berjatuhan. Meskipun helm agak mengganggu, tetapi
kita akan terhindar dari kemungkinan terluka atau keadaan fatal.
11. Sepatu
Sepatu sangat berpengaruh pada suatu pendakian, ini pun tergantung pada
medan yang akan dilalui. Untuk medan batu kapur yang licin dipakai
sepatu yang bersol tipis dan rata. Sedangkan untuk medan sand stone
(batu pasir) atau medan basah dipakai yang bersol tebal dan bergerigi.
Sepatu panjat biasa dibuat tinggi, untuk melindungi mata kaki.
C. PENGETAHUAN TALI-TEMALI
Tati-temali merupakan pengetahuan dasar penting untuk seorang pendaki. Beberapa simpul yang perlu diketahui adalah:
1. Figure of eight knot (simpul delapan)
Paling sering dipakai, mudah dibuat serta melepaskanya setelah mendapat beban. Simpul ini dipakai untuk menyambung tali.
gambar 10. Figure of Eight Knot dan Water Knot
2. Water knot (simpul pita)
Sering digunakan untuk menyambung webbing/sling/tali pita, meskipun dalam keadaan basah.
3. Bowline
Biasanya dipakai untuk anchor (titik tambat), karena sifatnya yang bila
mendapat beban akan semakin mengikat. Bowline terdiri dari :
a. Basic bowline
b. Bowline on the bight
gambar 11. Basic Bowline dan Bowline on The Bight
4. Fisherman’s knot (simpul nelayan)
Simpul ini sangat baik untuk menyambung tali, baik tali dalam keadaan
basah ataupun bila dua tali yang disambung berbeda ukuran. Yang biasa
digunakan :
a. Single fisherman’s knot
b. Double fisherman’s knot
gambar 11. Single Fisherman’s knot dan Double Fisherman’s knot
5. Sheet bend
6. Prusik
7. Overhand Loop
gambar 12. Sheet band, Prusik dan Overhand Loop
D. PRAKTIK PANJAT TEBING
1. Bergerak
Bergerak pada tebing lebih menuntut perhatian kita dalam menggunakan
kaki. Pijakan kaki yang mantap akan lebih memudahkan kita dalam bergerak
dan untuk memperoleh keseimbangan tubuh. Seorang yang baru belajar
panjat tebing biasanya akan memusatkan perhatian pada pegangan tangan.
Hal ini justru akan mempercepat lelah dan kehilangan keseimbangan.
Tangan sebenarnya hanya membantu kaki dalam mencapai keseimbangan
tersebut, kecuali untuk kasus-kasus tertentu, seperti melewati overhang,
layback, dsb. Untuk itu, bagi pemula sebaiknya memusatkan perhatian
untuk mencari pijakan (foot hold). Dan membisikkan pada dirinya sendiri
“lihat ke bawah….!”.
Unsur terpenting dalam panjat tebing adalah keseimbangan; bilamana
menempatkan tubuh, sehingga beban tubuh dapat terpusat pada titik-titik
pijakan. Prinsip tiga point sangat baik untuk diterapkan. Yaitu hanya
menggerakan satu anggota badan saja (kaki kiri/kanan dan tangan
kiri/kanan), sementara tiga anggota badan lain tetap pada
pijakan/pegangan.
Kesalahan lain yang biasa dibuat oleh seorang pemanjat pemula adalah
menempelkan tubuhnya rapat ke tebing. Hal ini justru merusak
keseimbangannya. Tubuh yang menempel pada tebing akan menyusahkan
seorang pendaki dalam bergerak.
Dalam melakukan gerakan, tidak perlu mencari pegangan yang terlalu
tinggi karena akan cepat menguras tenaga. Seperti halnya bila kita
berjalan dengan langkah lebar tentu akan cepat lelah. Bergeraklah
seperti ‘puteri solo’, melakukan langkah kecil, tenang tapi pasti.
Hal lain yang mendukung dalam setiap jenis olahraga adalah semangat.
Dengan berlatih serius tentu kita akan dapat bergerak dengan anggun.
Ada perkataan seperti ini, “The best training for rock-climbing is
rock-climbing”, ya berlatih panjat tebing sebaiknya ditebing, melakukan
panjat tebing itu sendiri.
Sekali lagi, cobalah untuk mengingatkan diri sendiri dengan membisikkan kata-kata, “lihat ke bawah….”.
2. Menggunakan Kaki
Dalam setiap gerakan, pengerahan energi harus diperhitungkan, sehingga
pada saat dibutuhkan, energi tersebut dapat dikerahkan secara penuh.
Konservasi energi dengan koordinasi antara otak dengan tubuh adalah
keseimbangan antara apa yang terpikir dan apa yang mampu dilakukan tubuh
kita.
Posisi telapak kita jelas akan menentukan ketepatan titik beban pada
kaki. Menempelkan lutut pada tebing justru akan merusak keseimbangan.
Usahakan untuk merencanakan penempatan kaki dahulu sebelum mencari
pegangan tangan. Gambar di bawah menunjukkan beberapa penempatan kaki.
3. Menggunakan Tangan
Setelah menempatkan posisi kaki dengan benar, tangan akan membantu dalam
mencapai keseimbangan tubuh seseorang pendaki dengan memanfaatkan
rekahan atau tonjolan batu. Rekahan tersebut bisa berupa rekahan kecil
dan besar yang cukup untuk seluruh badan. Tonjolan secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga macam, tonjolan tajam (incut), tonjolan datar
(flat), dan tonjolan bulat (rounded/sloping).
Berdasarkan retakan dan tonjolan tebing, maka pegangan dapat dibagi menjadi beberapa macam:
a. Pegangan biasa
Untuk tonjolan yang cukup besar (incut dan flat), seluruh tangan dapat
digunakan, tapi ada kalanya sangat kecil sehingga hanya jari yang dapat
digunakan.
gambar 13. Flat Hold, Pressure push hold
b. Pegangan Tekan (pressure push hold)
Pegangan ini diperoleh dengan cara mendorong tangan pada bidang batu yang cukup luas.
c. Pegangan Jepit
Jenis ini dipakai untuk tonjolan bulat (rounded atau slopping). Kalau
tonjolan ini cukup besar bisa seluruh tangan digunakan, tetapi bila
kecil hanya jari saja yang digunakan.
d. Jamming
Pegangan ini dilakukan secara khusus, yaitu dengan cara menyelipkan
tangan sehingga menempel dengan erat. Sesuai besar kecilnya celah batu
jamming dibagi atas beberapa macam:
- jamming dengan jari atau tangan (finger and hand jamming)
- jamming dengan kepalan atau lengan (fist and arm jamming)
gambar 14. Jamming
4. Gerakan Khusus Dalam Panjat Tebing
Dalam bergerak, sering dijumpai kondisi medan yang sulit dilewati dengan
hanya mengandalkan teknik pegangan biasa. Untuk itu, ada beberapa
gerakan khusus yang penting diketahui.
a. Layback
Diantara dua tebing yang berhadapan dan membentuk sudut tegak lurus,
sering dijumpai suatu retakan yang memanjang dari bawah ke atas. Gerakan
ke atas untuk kondisi tebing seperti itu dengan mendorong kaki pada
tebing di hadapan kita dan menggeser-geserkan tangan pada retakan
tersebut ke atas secara bergantian pada saat yang sama. Gerakan ini
sangat memerlukan pengerahan tenaga yang besar, karenanya gerakan harus
dilakukan secara tepat sebelum tenaga kedua tangan habis.
b. Chimney
Bila kita menemukan dua tebing berhadapan yang membentuk suatu celah
yang cukup besar untuk memasukkan tubuh, cara yang dilakukan adalah
dengan chimney yaitu dengan menyandarkan tubuh pada tebing yang satu dan
menekan atau mendorong kaki dan tangan pada dinding yang lain.
Tindakan selanjutnya adalah dengan menggeser-geserkan tangan, kaki dan
tubuh sehingga gerakan ke atas dapat dilakukan. Berdasarkan lebar celah
batu yang kita hadapi, maka chimney dapat dibagi atas:
- Wriggling
Wriggling dilakukan pada celah yang tidak terlalu luas sehingga cukup untuk tubuh saja.
- Backing Up
Backing Up dilakukan pada celah yang cukup luas, sehingga badan dapat menyusup dan bergerak lebih bebas.
- Bridging
Bridging dilakukan pada celah yang sangat lebar sehingga hanya dapat
dicapai apabila merentangkan kaki dan tangan selebar-lebarnya.
c. Mantelshelf
Dilakukan bila menghadapi suatu tonjolan datar atau flat yang luas
sehingga dapat menjadi tempat untuk berdiri. Caranya yaitu dengan
menarik tubuh dengan kekuatan tangan dan tolakan kaki sehingga dapat
melalui tonjolan tadi. Salah satu kaki kemudian menginjak dataran batu
tersebut sejajar dengan tangan, disusul dengan kaki yang lainnya.
d. Cheval
Cara ini dilakukan pada batu yang biasa disebut arete yaitu bagian
punggung tebing batu dengan bidang yang sangat tipis dan kecil.Pendaki
yang menggunakan cara ini mula-mula duduk seperti menungang kuda pada
arete, lalu dengan kedua tangan menekan bidang batu dibawahnya, ia
mengangkat atau memindahkan tubuhnya ke atas.
e. Traversing
Adalah gerakan menyamping atau horisontal dari suatu tempat ke tempat
lain. Gerakan ini dilakukan untuk mencari bidang batu yang baik untuk
dipanjat, untuk mencari rute yang memungkinkan menuju ke atas. Karena
gerakan ini horisontal, biasanya lebih banyak digunakan tangan dari pada
kaki (hand traveserse).
f. Slab Climbing / Friction Climbing
Dilakukan pada tebing yang licin dan tanpa celah atau rekahan serta kondisi tidak terlalu curam.
5. Leading and Runners
a. Leading (memimpin pendakian)
Umumnya dalam setiap pendakian, harus ada seorang yang menjadi pendaki
pertama (leader), biasanya dipilih seorang yang berpengalaman. Untuk
menjadi leader dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang panjat tebing.
Ketenangan dalam menyelesaikan rute-rute sulit, menempatkan piton-piton
dan chock dengan tepat, keyakinan untuk bergerak ke atas dengan mulus
serta dengan keyakinan pula menempatkan diri pada posisi istirahat.
Bila rute tersebut masih asri / belum terjamah sebelumnya, maka
menciptakan rute baru menurut seorang pendaki terkenal merupakan karya
seni yang luar biasa. Untuk mengamankan dirinya dari kemungkinan jatuh,
seorang leader akan menempatkan suatu rangkaian jalur pengaman pada
tempat-tempat yang tepat. Jalur pengaman (runners) yang dibuat selurus
mungkin, ini dimaksudkan untuk mengurangi gesekan antara karabiner
dengan tali pengaman. Hal ini untuk mencegah copotnya runners.
b. Runners
Runners adalah tempat tumpuan tali pengaman yang dipasang oleh pendaki
pertama untuk memperkecil jarak jatuh yang mungkin timbul. Semakin
banyak runners yang dipakai, makin terjaga pula pengamanan untuk si
pendaki. Akan tetapi banyak juga para pendaki yang beranggapan bahwa
pemakainan runners harus sesedikit mungkin, untuk menjaga kelestarian
tebing bersangkutan. Runners umumnya dipakai untuk proteksi pendaki
pertama, akan tetapi untuk kasus-kasus tertentu bisa juga dipakai untuk
proteksi pendaki kedua. Sesuai perkembangan peralatan panjat tebing,
runners dapat dibentuk dari banyak alat. Akan tetapi pada prinsipnya
runners dapat dibentuk dengan piton, sling, dan chock.
6. Belaying dan Anchor
a. Belaying
Merupakan hal yang penting dalam suatu rangkaian panjat tebing
(claimbing chain). Belayer yang baik harus terlatih sehingga dapat
menyelamatkan leader, bila leader terjatuh. Untuk itu dibutuhkan
latihan, disamping memahami cara-cara yang tepat. Komunikasi antara
belayer dengan leader harus jelas dan dimengerti oleh kedua belah pihak.
Karena adakalanya leader minta belayer untuk mengendorkan tali (slack)
ataupun mengencangkan tali (tension). Cara penempatan anchor untuk
belayer dan teknik belay yang baik dapat dilihat pada gambar di bawah.
b. Anchor
Anchor (jangkar) adalah suatu titik keamanan awal dimana yang kita buat
disangkutkan di sana. Anchor berguna untuk mengikatkan tali yang telah
bersimpul tersebut dan dipakai untuk rappeling (turun), naik (memakai
alat) atau untuk mengikatkan seseorang bila ia menjadi seorang belayer.
Ada anchor alamiah yang relatif kuat dan ada pula anchor buatan dengan
bantuan piton, bolt, chock, sling, dan etrier. Anchor buatan umumnya
dipakai bila sama sekali tidak ada anchor alamiah misalnya pada suatu
pitch di tengah-tengah tebing.
gambar 16. Membuat Anchor Bolt
c. Belaying dan penggunaan Runners
Ada beberapa pendaki yang senang melakukan panjat tebing seorang diri,
tetapi kebanyakan kegiatan ini dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri
dari beberapa pendaki. Dalam ‘free climbing’ beberapa alat pendakian
juga digunakan, meskipun pemakaian terbatas untuk proteksi saja. Tali
misalnya, bukan untuk memanjat atau pegangan, tapi untuk tali pengaman
(safety rope) yang menghubungkan pendaki dengan pendaki lain yang
menjadi belayer.
Demikian halnya alat-alat lain seperti karabiner, piton, chock atau
sling yang semuanya digunakan untuk proteksi. Pendakian oleh satu
kelompok dipandang sebagai suatu hal yang menjamin keamanan para
pendaki. Pendaki pertama diikat dengan tali pengaman yang dihubungkan
dengan pendaki kedua yang melakukan belaying. Untuk menghindarkan akibat
jatuh yang fatal, maka jarak jatuh si pendaki dengan belayer harus
dipersempit. Caranya yaitu dengan menempatkan runners (running belay)
pada jarak-jarak di tebing batu. Dengan menempatkan runners sebanyak
mungkin, diharapkan faktor kejatuhan (fall factor) dapat diperkecil.
Bila pendaki pertama berhasil mencapai tempat berpijak yang aman,
maka sekarang ia membantu mengamankan pendaki kedua dengan memberikan
belaying (upper belay). Jarak antara tempat pendaki pertama berpijak
dengan pendaki kedua yang menjadi belayer (low belaying) secara teknis
disebut “pitch”. Jadi banyak pitch pada satu tebing tergantung frekuensi
belaying yang dilakukan.
7. Abseiling (Rapeling)
Setelah mencapai puncak tebing, persoalan berikutnya adalah bagaimana
turun kembali. Pada saat turun, pandangan pendaki tidak seluas atau
sebebas ketika mendaki. Inilah sebabnya mengapa turun lebih sulit dari
pada mendaki. Karenanya alat sangat diperlukan pada saat turun tebing
(abseiling/rapeling). Cara turun dengan menggunakan tali melalui gerakan
atau sistem friksi sehingga laju luncur pendaki dapat terkontrol.
Berdasarkan pemakaian alat maka abseiling dapat dibagi atas : teknik
tanpa karabiner (classic method) dan teknik dengan karabiner (crab
method).
gambar 17. Abseiling
a. Teknik Dulfer
Cara klasik dalam turun tebing. Hanya menggunakan tali luncur (abseiling
rope) yang diletakkan diantara dua kaki lalu menyilang dada dan
melalui bahu. Laju turun ditahan dengan satu tangan.
b. Teknik Modified Dulfer
Teknik semi klasik. Menggunakan karabiner tersebut tali luncur menyilang
ke salah satu bahu lalu dipegang oleh satu tangan untuk kontrol.
c. Teknik Komando
Di Indonesia, cara ini sering dipakai oleh para komando. Caranya dengan
melilitkan karabiner dengan tali sebanyak dua kali, dan dengan melewati
antara kaki maka laju badan dikontrol dengan gerakan tali luncur
tersebut pada salah satu tangan. Adakalanya tali luncur tersebut tidak
melalui dua kaki tetapi hanya satu paha, lalu gerakan friksinya diatur
oleh tangan yang sejajar dengan paha tersebut.
d. Teknik Brake Bar
Empat buah karabiner disusun melintang sedemikian rupa sehingga
merupakan sistem friksi (lihat kembali: descendeur), lalu tali luncur
melewatinya dengan dikontrol oleh satu tangan pendaki. Sistem friksi
kemudian dikembangkan dengan sistem descendeur khusus yang disebut bar
crab.
Abseiling dengan penggunaan karabiner atau tanpa karabiner dilakukan
pada tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Bila kita berhadapan dengan
satu tebing yang panjang atau tinggi, maka cara ini tidak
dianjurkan.Untuk kasus seperti itu dapat menggunakan descendeur, seperti
figure of eight, bobbin atau brake bar.
Karena abseiling sangat tergantung pada alat yang dipakai maka
persiapan penggunaanya harus betul-betul diperhatikan. Pastikan bahwa
ikatan pada anchor benar-benar kuat. Periksa kembali apakah ujung tali
telah disimpul. Sebaiknya selain abseile rope persiapkan juga safety
rope yang diamankan oleh pendaki kedua.
Dengan memasang karabiner untuk meluncur, mutlak diperhatikan arah
pintu (gate) karabiner tersebut. Ingat prinsip friksinya jangan sampai
terbalik tetap gate karabiner. Kalau perlu screw gate karabiner.Tangan
yang mengontrol laju tidak boleh dilepas, karena luncuran yang tidak
terkontrol dapat berakibat fatal.
Jangan memaksa untuk melakukan lompatan pada abseiling, kecuali pada
tebing yang menggantung (overhang). Turunlah perlahan-lahan, lompatan
akan memberi tekanan pada tali sehingga kemungkinan tali lepas atau aus
lebih besar. Lagi pula, lompatan sering membuat pendaki lepas kontrol
dan mendarat kurang tepat.
8. Urutan Suatu Pendakian
a. Memilih rute
Pada umumnya dipilih berdasarkan data-data yang sudah ada, misalnya dari
buku-buku panduan atau dari para pendaki yang pernah melewatinya.
b. Mempersiapkan peralatan
Persiapkan peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan rute yang dipilih.
c. Menentukan leader
Leader dipilih oleh mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Apabila
dalam regu tersebut kemampuannya sama, leader dapat bergantian.
d. Mempersiapkan pendakian
- Buat anchor pada posisi yang tepat.
- Leader mempersiapkan diri, yaitu seluruh peralatan pendakian yang
ditempatkan pada gantungan yang tersedia atau pada sekeliling harness.
- Belayer mempersiapkan diri, yaitu dengan mengikatkan diri pada anchor.
- Aba-aba. Apabila leader telah siap, dia akan berkata “ belay on” dan disahuti oleh belayer dengan “on belay”.
e. Memulai pendakian
- Leader naik menuju pitch (belayer harus seksama memperhatikan seluruh
gerakan yang dilakukan oleh leader, cara memasang chock, melewati
overhang/tebing atap/tebing yang menggantung istirahat, memasang sling,
dsb.
- Leader menyangkutkan tali pengaman pada runner yang dibuatnya.
- Berikutnya kadang-kadang leader melakukan gerakan khusus atau menggunakan tangga untuk dapat terus naik.
- Bila leader jatuh akan tertolong oleh belayer bila runner telah terpasang kuat.
- Setelah cukup tinggi sekitar 40 meter lebih, leader akan mencari tempat yang cukup aman untuk memasang anchor.
- Adakala sebelum setinggi itu terdapat teras lebih baik anchor dipasang
di sini. Bila leader merasa cukup aman terikat pada anchor yang dibuat
dia akan berkata “belay off”
- Leader telah menyelesaikan pitch I
f. Belayer mempersiapkan diri untuk menyusul leader ke pitch I
- Langkah pertama ia akan membuat anchor
- Ujung tali yang dipakai untuk mem-belay disangkutkan pada tubuhnya
- Belayer melakukan cleaning up (membersihkan runner yang dibuat oleh
leader). Biasanya ia dilengkapi oleh hammer yang berguna untuk mencopot
piton.
- Belayer sebagai pendaki kedua sampai di pitch I
g. Meneruskan ke pitch I
- Bila ada pendaki ketiga, leader akan memasang fixed rope (tali tetap) untuk pendaki ketiga yang naik menggunakan ascendeur.
- Bila hanya berdua, akan dimulai proses pendakian seperti sebelumnya.
9. Artificial Climbing
Pada suatu keadaan tertentu dimana tebing tidak ada hold (tonjolan batu)
tetapi hanya ada rekahan kecil yang tidak dapat digunakan untuk
pijakan dan pegangan, maka pendakian akan menggunakan alat berupa
piton, friend, chock serta etrier dalam menambah ketinggian.
Dalam hal ini etrier menjadi alat yang sangat vital sebagai pijakan.
Dengan cara menempatkan etrier pada chock/friend/piton yang terpasang
pada rekahan. Pendaki memasang lebih ke atas lagi chock/friend/piton,
kemudian etrier dipindahkan pada chock/friend/piton yang terpasang
tersebut. Demikian seterusnya berulang-ulang sehingga pendaki mencapai
ketinggian yang diinginkan.
Demikianlah ringkasan suatu pendakian pada umumnya. Akhirnya makalah
ini kami cukupkan sampai di sini. Untuk lebih jelas sebaiknya kita
berlatih di lapangan/tebing.
|